Kaum buruh merasakan penindasan berkali-kali lipat dalam hidupnya. Penindasan yang utama dilakukan oleh perusahaan (pemodal) tempat dia bekerja. Penindasan ini bisa berbentuk upah rendah yang tidak sepadan dengan tingginya tuntutan pekerjaan. Belum lagi resiko kecelakaan di tempat kerja yang membahayakan nyawa.
Penindasan selanjutnya berasal dari negara. Bentuk penindasan negara terhadap buruh melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Berbagai peraturan perundangan-undangan dibuat lebih banyak memihak kepada pemodal dibanding buruh.
Dalam konteks inilah, buruh berposisi sebagai kelas sosial yang berbeda dari pemodal.
Kepentingan buruh akan selalu berseberangan dengan kepentingan pemodal. Buruh berkepentingan meraih kesejahteraan melalui pekerjaannya, dan Pemodal berkepentingan mendapatkan keuntungan dari bisnis perusahaannya dengan cara memperkerjakan buruhnya.
Karena itulah, untuk memenangkan perjuangannya, perjuangan buruh tidak bisa bersifat individual, perjuangannya selalu harus kolektif. Perjuangan kolektif dalam melawan penindasan Pemodal ini disebut dengan perjuangan kelas.
Pada akhirnya perjuangan kelas harus melampaui batasan-batasan yang diciptakan oleh Negara, buruh harus mampu mewujudkan sendiri aturan-aturan hukum yang melindungi kepentingannya dan lebih jauh mampu menumbangkan dominasi para pemodal itu sendiri.
Rosa Luxemburg, seorang aktivis perempuan Jerman yang juga aktif dalam gerakan buruh di era sebelum perang dunia ke II, terang-terangan menyatakan bahwa hukum ciptaan kaum borjuis hanyalah sebuah tipu daya yang merugikan kaum buruh. Selama penguasa negara terdiri dari kaum borjuis–politisi busuk, pengusaha licik, intelektual yang tidak memiliki keberpihakan pada rakyat kecil, pemuka agama yang hanya diam melihat penindasan sistemik maka selama itu pula segala bentuk hukum di negeri ini lebih pantas untuk diabaikan dan tidak dianggap keberadaannya daripada harus ditaati sehingga merugikan rakyat.
Buruh memang seringkali harus berhadapan dengan hukum ciptaan penguasa yang lebih cenderung berpihak kepada pemodal. Sebut saja Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Pengadilan Hubungan Industrial, PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, dan yang terbaru adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Walaupun didalam undang-undang ini telah ada sejumlah perlindungan hak-hak buruh, tetapi dalam implementasinya hak-hak tersebut seringkali diabaikan oleh pemodal, dan pemerintah mendiamkannya.
Misalnya, soal Upah Minimum. Dalam UU ketenagakerjaan, pengusaha dilarang membayar upah pekerja dibawah upah minimum Kota/Kabupaten. Tetapi, pada faktanya, buruh harus berjuang keras agar Pengawas Ketenagakerjaan bergerak untuk menegakkan aturan hukum yang ada. Tidak pernah ada ceritanya Pengawas Ketenagakerjaan secara mandiri (tanpa didesak oleh buruh) menegakkan aturan Upah Minimum. Padahal UU memberikan mandat kepada Pengawas Ketenagakerjaan sebagai aparatur penegak hukum di bidang ketenagakerjaan.
Pemerintah (mulai Presiden, Menteri, Kepala Daerah, dll) sangat sering berbicara tentang investasi dan peningkatan produktifitas ekonomi, tetapi jarang (bahkan nyaris tidak pernah) berbicara tegas tentang perlindungan bagi buruh. Bukankah produktifitas ekonomi tanpa perlindungan buruh itu sama saja dengan menganjurkan perbudakan?
Seringkali, pemerintah seolah memperhatikan aspirasi buruh dengan mengundang para tokoh atau pimpinan buruh, atau terkadang ada Pejabat Pemerintah hadir ditengah-tengah aksi buruh untuk menunjukkan simpati kepada buruh. Tetapi yang mereka sampaikan ternyata hanyalah formalitas belaka. Berkali-kali Presiden mengundang pimpinan serikat buruh untuk hadir ke Istana, tapi toh Omnibus Law UU No. 11 tahun 2020 yang ditolak oleh buruh tetap saja disyahkan.
Secara vulgar, sangat sering pemerintah Indonesia (termasuk Presiden dan Menteri Tenaga Kerja) seolah berfungsi sebagai wakil Manajemen Perusahaan. Buruh harus menyadari hal ini, bahwa Pemerintah tidak berdiri ditengah-tengah buruh dan pemodal, tetapi pemerintah berdiri dalam posisi mewakili kepentingan pemodal. Karena itu, perlawanan buruh harus berdiri dalam posisi yang tegas saat didepan pemerintah. Tidak perlu segan untuk menolak hadir ke suatu forum yang diisiasi pemerintah apabila itu hanya sebagai forum yang melegitimasi (membenarkan) kebijakan pemerintah yang nyata-nyata merugikan kaum buruh.
Sebagai contoh, SPBI dengan tegas menolak undangan Menteri Hukum dan HAM untuk mendiskusikan pengesahan Omnibus Law UU No. 11 tahun 2020, karena SPBI memahami bahwa undangan semacam ini hanya kan melegitimasi pemerintah atas kebijakan mereka yang mengesahkan Omnibus Law UU No. 11 tahun 2020. Ini bukan berarti SPBI anti pemerintah, tetapi SPBI berposisi tegas bahwa setiap dialog dengan pemerintah terkait Omnibus Law UU No. 11 tahun 2020 hanya bisa dilakukan dalam rangka pembatalan regulasi ini bukan sebaliknya.
Sayang sekali, masih banyak serikat-serikat buruh yang masih ambigu terkait perjuangan menolak Omnibus Law UU No. 11 tahun 2020. Diluar mereka menyatakan menolak Omnibus Law, tetapi saat diundang dan diajak berdialog pemerintah dalam rangka pengesahan Omnibus Law UU No. 11 tahun 2020, serikat-serikat ini tetap bersedia. SPBI meyakini, salah satu penyebab gagalnya perjuangan menolak pengesahan Omnibus Law UU No. 11 tahun 2020 adalah karena sikap yang ambigu dan oportunis yang dilakukan sejumlah pimpinan serikat-serikat buruh tersebut.
Saat ini kita harus menyadari bahwa posisi kaum buruh dengan posisi pemerintah ataupun pengusaha jelaslah tidak memiliki kesetaraan. Agama mengajarkan “semua manusia sama di mata Tuhan”, tetapi nilai luhur ini tidak pernah dipraktekkan oleh para pemodal dan pejabat pemerintah, walaupun mereka seringkali mencitrakan dirinya sebagai seseorang yang agamis. Buruh tidak boleh tertipu, itu hanya pencitraan semata. Para pejabat pemerintah dan pengusaha, yang bisa kita sebut sebagai Kaum Borjuasi, gemar mencitrakan dirinya terlihat baik di depan rakyat namun akhirnya justru menyengsarakan kaum buruh sebagaimana yang telah terjadi di beberapa masa dan peristiwa sebelumnya.
Semaun, seorang pimpinan gerakan buruh Indonesia pada era tahun 1920-an, dalam salah tulisan terkenalnya “Penuntun Kaum Buruh”, menyatakan bahwa kaum buruh hendaknya berada di barisan perjuangan politik yang menguntungkan kaum buruh itu sendiri. Jangan sampai buruh berada di barisan politik yang kelak bisa merugikan mereka.
Oleh karena itu kaum buruh jangan sampai buta politik. Buruh harus mampu membedakan mana pihak yang benar-benar tulus berjuang untuk kaum buruh. Dan mana pihak yang hanya memanfaatkan suara kaum buruh dalam pemilihan umum. Dan saat ini, satu-satunya pihak yang sungguh-sungguh memperjuangkan kaum buruh hanya serikat buruh. Akan tetapi buruh juga harus jeli, banyak serikat buruh yang abal-abal atau serikat buruh yang palsu. Serikat buruh abal-abal telah banyak bermunculan. Serikat buruh abal-abal adalah organisasi buruh yang justru bekerjasama dengan pemodal dan pemerintah untuk melemahkan gerakan buruh. Dengan alasan dialog, sikap netral, dan mematuhi pemerintah, mereka seringkali mengorbankan hak-hak buruh. Kaum buruh harus menjauhi serikat buruh abal-abal ini.
Serikat Buruh abal-abal ini rutin memotong upah anggotanya untuk iuran setiap bulannya, dan seringkali memungut jasa atas setiap pembelaan-pembelaan terhadap anggotanya, tapi saat berhadapan dengan pengusaha dan pemerintah mereka dapat dengan mudah berbalik arah lebih membela kepentingan pengusaha dan pemerintah dan ikut menekan anggotanya sendiri. Mereka ini berperilaku layaknya dalam peribahasa ‘serigala berbulu domba’.
Saat ini hanya melalui serikat buruh yang sejatilah kaum buruh akan mampu menempa dan mendididik dirinya secara kolektif untuk memenangkan perjuangan kelas. Dengan menjadi anggota serikat maka kaum buruh akan menemukan jalan untuk mewujudkan perubahan politik dan sosial yang adil bagi kaum buruh.
Tetapi kaum buruh dan serikat buruhnya tentu saja tidak bisa berjuang sendiri. Pada akhirnya gerakan buruh harus bersekutu dengan gerakan sosial dan demokratik lain yang memiliki tujuan saja, yaitu melawan penindasan kapitalisme. Diantara sekutu gerakan buruh adalah gerakan tani, gerakan mahasiswa, gerakan Hak Asasi Manusia (HAM), gerakan lingkungan, gerakan masyarakat adat, gerakan anti korupsi, dan gerakan perempuan. Persatuan yang luas antara gerakan buruh dan gerakan-gerakan sosial ini kedepan akan mampu menghimpun kekuatan dan merontokkan dominasi dan penindasan kaum pemodal yang korup dan merusak alam.
Persatuan luas diantara gerakan sosial ini pada akhirnya makin menemukan momentumnya karena parta-partai politik yang saat ini menjadi pilar demokrasi di Indonesia telah sepenuhnya telah dikuasai oligarki (segelitir penguasa) pemodal. Gerakan buruh dan gerakan sosial lain tak mungkin lagi bisa berharap kepada partai-partai politik tersebut. Tugas besar gerakan buruh di masa depan adalah dari serikat buruh yang kuat dan demokratik harus mampu melahirkan partai politik sendiri yang bebas dari kooptasi (campur tangan) para pemodal dan mampu menjadi rumah besar bagi gerakan-gerakan sosial yang memiliki tujuan bersama anti kapitalisme.