Hadirnya pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan kekhawatiran pada bidang kesehatan, tapi juga sangat berdampak bagi buruh di seluruh dunia. Tidak terkecuali di Indonesia yang memiliki jumlah angkatan kerja sebanyak 137,91 Juta orang pada Februari tahun 2020 (Data Badan Pusat Statistik). Besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia, seharusnya turut diikuti oleh meningkatnya jumlah buruh yang menjadi anggota serikat. Namun, data yang tersedia malah menunjukkan kebalikannya. Berdasarkan data verifikasi keanggotaan serikat buruh yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan pada juni 2019, terjadi penurunan minat di kalangan buruh untuk menjadi anggota serikat. Data tersebut menyatakan bahwa jumlah buruh yang berserikat tidak lebih dari 5% dari total buruh formal. Jumlah 5% tersebut berjumlah 2.701.001 buruh dari total keseluruhan sebanyak 55.272.968 buruh formal di Indonesia. Keberadaan data ini cukup disayangkan, karena Indonesia sebagai negara demokrasi sangat menjamin kebebasan warga negaranya untuk berserikat sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E ayat (3) berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Sebagai mahasiswa Ilmu Hukum, saya mempelajari beberapa aturan hukum tentang ketenagakerjaan. Salah satu aturan yang menurut saya menarik adalah diperbolehkannya bagi buruh untuk menjadi anggota serikat di tempat kerjanya. Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi, “Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.” Oleh karena itu saya berkesimpulan merupakan hal yang sia-sia apabila buruh tidak menjadi anggota serikat. Serikat tidak hanya berfungsi sebatas tempat belajar berorganisasi bagi buruh. Namun, juga merupakan tempat perlindungan terakhir ketika perusahaan tempat bekerja mulai mengurangi hak-hak normatif buruhnya. Tidak ada satupun buruh di dunia ini yang ingin haknya dikurangi, khususnya dalam hal upah. Namun, justru selalu ada kemungkinan bagi perusahaan untuk mengurangi upah buruhnya sehingga mendapatkan keuntungan bisnis yang lebih banyak. Ketika buruh berserikat, secara tidak langsung meningkatkan bargaining position atau daya tawar buruh di depan perusahaan. Dengan berserikat pula, buruh dapat menuntut kehidupan kerja yang lebih layak sesuai dengan sektor kerja mereka. Tidak bisa dipungkiri kebutuhan buruh dari satu sektor dengan sektor lainnya tidak bisa disamakan. Sebagai contohnya, kebutuhan buruh di sektor industri manufaktur dengan yang bekerja di sektor perbankan jelas berbeda. Baik dari segi penunjang pekerjaan, tingkat keamanan yang dipersiapkan, hingga resiko yang dihadapi selama waktu bekerja jelas berbeda. Perbedaan kebutuhan akan setiap sektor inilah yang semestinya disadari oleh setiap buruh. Sehingga apabila berserikat, buruh dapat terlibat dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dengan pembuatan PKB inilah diharapkan setiap buruh dapat menyampaikan kebutuhan lainnya yang mungkin belum terakomodasikan oleh hadirnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksananya. Selain itu, apabila buruh memiliki permasalahan atau ingin menyampaikan aspirasi yang berkaitan pekerjaannya dapat disalurkan melalui serikat buruh.
Keberadaan serikat buruh merupakan konsekuensi dalam negara demokrasi. Apabila serikat buruhnya kuat dan progresif maka semakin ideal tingkat demokrasi di negara tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan serikat buruh yang aktif dan kritis terhadap isu sosial dapat mempengaruhi kebijakan negaranya. Sebagaimana yang terjadi di negara Eropa, serikat buruh memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan politik dalam suatu negara. Berdasarkan diskusi dengan kawan saya yang merupakan warga negara Inggris, anggota Serikat Buruh di Inggris secara tidak langsung menjadi anggota Partai Buruh dan dapat berpartisipasi untuk memilih pengurus Partai Buruh di setiap kota. Selain itu, serikat buruh memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan dengan Partai Buruh. Sehingga apabila seseorang ingin menjadi pimpinan di Partai Buruh, maka setidaknya harus mendapatkan dukungan dari minimal tiga serikat buruh di Inggris. Menurut saya, kedekatan Serikat buruh dengan partai politik–sebagaimana di Inggris yang memiliki kesamaan visi perjuangan merupakan salah satu jalan agar aspirasi dan kesejahteraan buruh/pekerja lebih diakomodasikan kepentingannya secara politis. Dan Indonesia–sebagai salah satu negara demokrasi maka sudah sepantasnya warga negaranya tidak antipati terhadap keberadaan serikat buruh.
Karena apabila melihat kondisi politik di Indonesia, keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap buruh masih harus dipertanyakan sambil dikritisi bersama. Salah satu contoh kebijakan adalah berupa adanya Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020. SE tersebut secara tidak langsung mengizinkan perusahaan untuk mencicil Tunjangan Hari Raya (THR) buruh dengan dalih Covid-19. Berulangkali saya masih menemukan beberapa buruh yang komplain melalui media sosial Komite Pusat Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (KP-SPBI) terkait THR yang dipotong secara tiba-tiba tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu bersama buruh/pekerjanya. Sudah memotong THR buruh/pekerjanya secara sepihak, perusahaan juga tidak memberikan transparansi keuangan selama pandemi Covid-19. Adanya laporan kasus tersebut secara tidak langsung semakin membuka mata saya bahwa sudah seharusnya buruh berserikat. Saya bahkan berandai-andai, apabila semua buruh berserikat pasti mereka akan mendapatkan haknya secara utuh tanpa perlu menunggu lama. Contoh kasusnya di salah satu pabrik percetakan di Singosari, Kabupaten Malang yang buruhnya menjadi anggota KP-SPBI. Anggota KP-SPBI di pabrik tersebut mengatakan bahwa beberapa minggu sebelum tenggat waktu THR dibayarkan, perusahaan sudah mengajak berdialog karena ingin mencicil THR buruhnya. Namun, anggota serikat tetap bersikeras agar THR seluruh buruhnya dibayarkan secara penuh dan tepat waktu sebagaimana peraturan perundang-undangan. Tidak perlu menunggu lama, THR buruh di pabrik percetakan tersebut dibayarkan langsung secara utuh pada dua minggu sebelum Hari Raya Idul Fitri tahun ini.
Kasus lainnya, adalah buruh pabrik rokok di Kota Malang yang juga menjadi anggota KP-SPBI melakukan aksi mogok kerja karena perusahaan belum memenuhi alat keselamatan diri bagi buruh yang bekerja sejak pandemi Covid-19. Buruh pabrik rokok yang seluruhnya perempuan tersebut melakukan aksi mogok kerja satu hari penuh sambil menunggu perusahaan memenuhi tuntutannya. Akhirnya anggota serikat melakukan audiensi bersama perusahaan untuk menyampaikan aspirasinya terkait barang apa saja yang dibutuhkan selama bekerja di tengah pandemi Covid-19. Keesokan harinya para buruh kembali bekerja seperti biasanya dengan tuntutan yang dipenuhi perusahaan: uang untuk membeli masker pelindung dan hand sanitizer. Apakah perusahaan akan marah ketika buruh melakukan mogok kerja? Tidak, karena mogok kerja dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan prosedur yang telah diatur. Kasus berikutnya adalah perjuangan sebuah serikat perbankan swasta di Indonesia. Perjuangan serikat perbankan tersebut bahkan sampai menjadikan dua orang pengurusnya dipenjara karena kevokalannya. Sepak terjang perjuangannya membuat banyak serikat buruh lainnya bersimpati. Kasus tersebut cukup ramai sehingga menyita perhatian publik pada akhir Desember 2017. Dua orang yang dipenjara tersebut telah bebas dan salah satunya masih menjadi ketua serikatnya. Kini serikat perbankan tersebut sudah eksis dan anggotanya merasakan manisnya berserikat. Salah satu kemenangan yang dirasakan serikat perbankan tersebut adalah dapat merumuskan perjanjian kerja bersama perusahaan setiap tahunnya. Tiga contoh kasus tersebut menyadarkan saya bahwa kekuatan buruh berada pada dirinya masing-masing. Kekuatan buruh akan semakin bertambah ketika ia berserikat dan teredukasi bersama melalui serikat buruh. Ketika buruh menyadari kekuatannya, pada saat itulah tidak ada lagi yang bisa merendahkannya. Sudah sepantasnya buruh berserikat untuk meningkatkan martabatnya, baik di tempat kerja ataupun di hadapan negara.