Ahmad yang baik.
Pertama-tama kami sampaikan rasa prihatin kami atas persoalan yang anda alami. Semoga persoalan ini tidak mengganggu kehamilan istri tersayang, mohon bersabar dan selalu jaga kesehatan ibu dan kandungannya, semoga kita bersama-sama dapat membantu untuk mencari jalan yang terbaik. Amiin.
Dari penjelasan anda, kami bisa menyimpulkan bahwa ada tiga persoalan ketenagakerjaan yang sedang terjadi dalam perkara ini. Pertama, tentang larangan bagi sepasang suami-istri untuk bekerja dalam satu perusahaan. Kedua, Pemutusan Hubungan Kerja karena pekerja dalam keadaan hamil. Dan ketiga, pengusaha memaksa pekerjanya untuk mengajukan permintaan pengunduran diri.
Pertama : Larangan bagi sepasang suami-istri untuk bekerja dalam satu perusahaan.
Kami perlu tegaskan, bahwa tidak ada aturan hukum yang melarang buruh dalam satu perusahaan terjalin ikatan pernikahan.
Dulu memang ada ketentuan di Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengizinkan Perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) apabila dalam Peraturan Perusahaan (PP) dan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) mengatur terkait PHK semacam ini. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang bunyinya sebagai berikut :
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja Bersama (PKB).
Akan tetapi, aturan ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konsitusi (MK) pada tanggal 7 Desember 2017 dalam Putusan Nomor 13/PPU-XV/2017. Berikut kutipan amar Putusannya :
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Dengan Putusan MK ini, maka bunyi pasal Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berubah menjadi :
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan.
Dengan Putusan MK ini, maka berarti apabila ada ketentuan dalam peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja Bersama (PKB) yang mengharuskan adanya PHK bagi suami istri yang bekerja dalam satu perusahan maka ketentuan tersebut dianggap batal demi hukum, dan tidak dapat dilaksanakan. Apabila perusahaan tetap bersikukuh melakukan PHK maka perusahaan wajib mempekerjakan pekerja yang bersangkutan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 153 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang bunyinya sebagai berikut :
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Kedua : Pemutusan Hubungan Kerja karena Pekerja Perempuan Hamil
Undang-Undang Ketenagakerjaan melarang pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada pekerja perempuan perempuan yang sedang dalam keadaan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Hal ini ditegaskan pada pasal 153 huruf e Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Secara lengkap berikut kutipan isi pasal ini :
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
Apabila perusahaan melakukan PHK kepada pekerja perempuan perempuan yang sedang dalam keadaan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Ketentuan ini diatur dengan tegas pada pasal 153 ayat 2 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Secara lengkap berikut kutipan isi ayat (2) pada pasal ini:
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Ketiga : pengusaha memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Seorang pekerja boleh mengajukan pengundurkan diri dari pekerjaannya, akan tetapi ini harus dilakukan secara sukarela, atas kemauan sendiri tanpa ada paksaan atau tekanan/intimidasi dari pengusaha.
Tindakan perusahaan anda yang memerintahkan anda dan istri untuk mengundurkan diri adalah tindakan yang bertentangan dengan Undang undang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 154 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berikut isi lengkap ayat pada pasal ini :
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
Bagaimana upaya hukum dan non hukum yang dapat dilakukan dalam menuntut keadilan dalam perkara ini?
Dalam setiap kasus ketenagakerjaan, pada umumnya ada dua upaya atau tindakan yang bisa dilakukan, yaitu upaya hukum dan non hukum. Seperti yang telah kami uraikan diatas, tindakan HRD perusahaan anda yang telah memaksa anda dan istri anda untuk mengajukan pengunduran diri adalah tindakan yang melanggar hukum.
Dalam perkara pengunduran diri yang telah Ahmad lakukan karena dipaksa oleh perusahaan, maka apabila anda dapat membuktikan indikasi-indikasi dari pemaksaan yang dilakukan perusahaan, kami menyarankan agar anda mengambil langkah hukum dengan menggugat masalah ini sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Undang Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam hal ini perkara anda termasuk kategori perselisihan PHK, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Apabila anda bisa membuktikan terkait tindakan pemaksaan yang dilakukan oleh HRD, kami sangat yakin pengunduran diri anda akan batal demi hukum.
Terkait tata cara dan mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan ketentuan UU No. 2 tahun 2004, karena persoalan ini cukup panjang dan kompleks, akan kami bahas dalam bagian yang berbeda.
Dalam perkara upaya HRD yang memaksa istri anda untuk mengundurkan diri, kami menyarankan agar istri anda bertahan untuk tidak mengikuti pemaksaaan yang dilakukan oleh HRD perusahaan anda. Lakukanlah upaya persuasif. Ajaklah HRD bicara dari hati ke hati dan sentuhlan sisi kemanusiaannya. Kami berpandangan, HRD juga manusia biasa, yang punya keluarga dan mungkin saja keluarganya suatu saat akan mengalami nasib serupa. Sungguh nista bagi seseorang yang meniti karier atau pekerjaan dengan merampas mata pencaharian orang lain.
Jadi kami sangat tekankan, agar istri anda tidak menandatangani berkas atau formulir apapun yang ada kaitannya dengan pengunduran diri. Cukup diam saja, dan kembali menjalankan pekerjaan sebagaimana biasanya seperti tidak ada persoalan apapun.
Untuk selanjutnya, kami menyarankan anda dan istri anda mengambil inisiatif menyampaikan perkara ini ke teman-teman sekerja, ajaklah teman-teman anda bersolidaritas, minimal berempati dengan apa yang sedang anda alami. Janganlah perkara ini anda rahasiakan dari teman-teman anda. Seluruh teman sekerja anda harus mengetahui perkara ini, karena bisa jadi suatu hari nanti teman sekerja anda akan mengalami hal yang sama.
Tapi, kami menekankan agar anda juga tidak perlu reaktif dan emosional dengan misalnya menjelek-jelekan perusahaan atau HRD yang bersangkutan. Tetaplah bersikap yang baik dan proposional, hal ini untuk mencegah adanya tindakan-tindakan yang berlebihan dari perusahaan.
Dan yang paling utama, kami mendorong anda untuk mengajak teman-teman sekerja untuk mendirikan serikat pekerja di perusahaan anda. Kami akan sangat senang membantu anda dan teman-teman dalam proses pembentukan serikat pekerja ini. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan dalam rangka pembentukan serikat pekerja dapat kami sampaikan dalam konsultasi khusus di kantor kami, baik secara online maupun offline (pertemuan langsung).
Ahmad yang baik, demikian penjelasan yang bisa kami sampaikan, tetap bersabar ya.
Selamat berjuang, semoga kesehatan dan kesuksesan selalu menyertai anda dan istri.
Terimakasih.