Bams di Tangerang,
Berdasarkan pertanyaan kamu, kami melihat setidaknya ada tiga persoalan, pertama soal Upah di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), kedua dirumahkan tanpa upah, dan ketiga penundaan pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR).
Kami akan coba uraikan satu persatu persoalan ini.
Persoalan Pertama : Soal Upah di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK)
Dalam UU No. 13 tahun 2003, ditegaskan setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini disebutkan di Undang-undang No 13 tahun 2003, pasal 1 angka 30 “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”
Dalam hal besarnya upah yang dibayarkan pengusaha kepada buruh,pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum (dan atau Upah Minimum Sektoral Kota/UMSK). Ini ditegaskan di pasal 90 ayat 1 UUK No 13 Tahun 2003.
Dalam hal pengusaha atau pemberi kerja memberikan upah lebih rendah dari ketentuan upah dari UMK atau Upah sektor yang berlaku, sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerja maka secara otomatis perjajian tersebut batal demi hukum.
Ini diatur dalam pasal 91 ayat 1 menyatakan “Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Bagaimana jika pengusaha melanggar ketentuan upah minimum ? apa sanksinya?
Pasal 185 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan Barang siapa melanggar ketentuan upah minimum akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Membayar buruh dibawah upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan.
Kedua, mengenai persoalan buruh dirumahan dengan alasan Covid-19.
Dalam situasi pandemi Covid-19 seharusnya pengusaha dapat mengambil langkah yang bijak dan tetap mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan kemudian mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan mejadikan buruh sebagai korban.
Walaupun saat ini Indonesia (juga di seluruh dunia) sedang dilanda pandemi Covid 19, tetapi terkait aturan ketenagakerjaan, sama sekali tidak ada perubahan.
Sebenarnya, di UU Ketenagakerjaan tidak ada istilah buruh dirumahkan. Istilah yang digunakan adalah buruh tidak dipekerjakan. Ketentuan soal ini disebutkan dalam pasal Pasal 93 ayat (2) huruf F UU No. 13 tahun 2003 yang bunyinya “Pengusaha wajib membayar upah apabila : Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha”.
Melalui ketentuan ini bisa dipahami bahwa apabila pekerja masih bersedia bekerja tapi pengusaha tidak mempekerjakan buruh (merumahkan), maka pengusaha wajib membayar upah buruh sebesar sama dengan upah yang diterima saat bekerja.
Apa sanksi bagi pengusaha yang merumahkan buruh dan tidak membayar upahnya?
Pasal 186 UU No. 13 tahun 2003 mengancam pengusaha yang melanggar ketentuan ini dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Pelanggaran atas ketentuan ini merupakan tindak pidana pelanggaran.
Ketiga, mengenai penundaan pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR).
Buruh mendapatkan penghasilan dari hasil pekerjaannya dalam bentuk Upah dan pendapatan non upah. THR adalah termasuk penghasilan buruh kategori pendapatan non upah.
Ketentuan tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) dapat kita jumpai di Peraturan Pemerintah (PP) 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan Permenaker No. 6 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja/buruh di Perusahaan.
Pada pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) 78 tahun 2015 disebutkan bahwa THR wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan wajib dibayarkan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan.
Adapun besar THR yang diterima oleh buruh diatur dalam pasal 3 Permenaker No. 6 tahun 2016 dengan ketentuan sebagai berikut :
- Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih diberikan sebesar 1 bulan upah.
- Pekerja yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan sebagai berikut :
Bagaimana apabila perusahaan melanggar ketentuan THR?
Sangat disayangkan dalam peraturan perundangan tentang THR tidak memuat ketentuan Pidana bagi perusahaan yang melanggarnya, dan karenanya banyak pengusaha seringkali mengabaikan dan melanggar ketentuan ini.
Sanksi bagi perusahaan yang tidak membayar THR tidak terlalu keras. Sanksinya berupa sanksi administratif dan denda,
Untuk sanksi Denda aturannya sebagai berikut :
Dalam pasal 10 Permenaker No. 6 tahun 2016 disebutkan Pengusaha yang terlambat membayar tunjangan hari raya keagamaan (THR dibayar paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total tunjangan hari raya keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. Denda ini dikelola dan dipergunakan untuk kesejahteraan Pekerja yang diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Dan untuk sanksi administratif aturannya sebagai berikut :
Pada pasal 59 PP 78 tahun 2015 menyebutkan bahwa sanksi administrative bagi pengusaha yang tidak membayar maupun yang terlambat membayarkan THR diancan dengan sanksi administrative berupa :
- Teguran tertulis;
- Pembatasan kegiatan usaha;
- Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
- Pembekuan kegiatan usaha
Bagaimanakah upaya buruh untuk menuntut hak-haknya tersebut diatas?
Untuk memastikan tegakknya peraturan ketenagakerjaan, aparat penegak hukum yang berkewenangan secara khusus menjalankan penegakan hukum dibidang ketenagakerjaan adalah Pengawasan Perburuhan, selain itu untuk sejumlah kategori pelanggaran yang terkategori pelanggaran pidana, Kepolisian juga dapat menjalankan upaya penegakan hukum (pro justicia)
Ketentuan mengenai Pengawasan Perburuhan diatur dalam peraturan perudangan sebagai berikut :
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Permenaker 33 tahun 2016 ttg tata cara pengawasan
Mengingat pembahasan mengenai Pengawas Perburuhan adalah persoalan yang membutuhkan penjelasan yang lebih detail, kami akan membahas persoalan ini dalam pembahasan tersendiri.
Yang paling penting untuk dipahami bagi kawan-kawan buruh yang akan berjuang menuntut hak-haknya sebagai pekerja adalah: Pertama, pahamilah secara detail apa saja hak anda yang telah diatur dalam aturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.
Ingatlah bahwa apa yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama tidak bisa membatalkan, tidak boleh bertentanngan dan atau lebih rendah dari ketentuan dalam aturan perundang-undangan.
Apabila ada ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama yang lebih rendah dan atau bertentangan dengan ketentuan dalam aturan perundang-undangan maka perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan yang berlaku di aturan perundang-undangan.
Kedua, sebelum anda menuntut hak-hak anda, pastikan bahwa posisi anda aman dan tidak dalam keadaan terancam kehilangan pekerjaan. Bentuklah serikat pekerja, bangunlah solidaritas (persaudaraan) diantara pekerja. Anda tidak bisa berjuang sendiri, karena perlindungan atas hak-hak pekerja hanya bisa dijamin melalui perjuangan kolektif (perjuangan bersama) sesama pekerja.
Selamat berjuang.